Minggu, 22 Desember 2013

Interaksi Aktif SCTV

Opini: Lilianto Apriadi

Di tengah keramaian joged dalam berbagai acara di televisi, SCTV menampilkan yang agak berbeda. Tidak ada Cesar yang lagi booming lewat goyangannya di Keep Your Smile Trans TV, atau Pesbuker dan Campur Campur Anteve melalui candaan nyablaknya para pengisi acara, SCTV lebih kepada sajian yang menampilkan banyak sisi. Ada joged, adu bakat, adu wawasan, atau sekedar adu keterampilan lewat acara-acara Inbox di pagi hari dan Eat Bulaga Indonesia di sore hari.

Inbox yang tayang setiap pagi sejak pukul 06.30 WIB, yang barangkali buat sebagian orang sedang menuju ke kantor menerobos kemacetan atau malah ada yang belum bangun tidur, Inbox menawarkan kecerahan masa depan bagi sebagian orang dalam sesi Semprul Manajemen. Anak-anak muda, ada yang belasan tahun atau menginjak 20 tahunan mengadu nasib olah vokalnya. Tidak jarang mereka datang dua jam sebelumnya dan berangkat dari rumahnya dini hari, diantar oleh keluarganya.

Para peserta tampil dengan sejuta harapan dapat meraih masa depan lebih baik lagi. Mereka berharap bisa bernyanyi di acara stasiun televisi ternama itu dan berdiri sejajar dengan artis-artis ternama hingga suatu saat gara-gara penampilannya dapat menjadi seperti artis ternama itu.

Ajang adu bakat sudah banyak, seperti Indonesian Idol, X Faktor, dulu ada Kompetisi Dangdut Indonesia (KDI), dan banyak lagi. Tapi, untuk Semprul Manajemen, mereka datang spontan, diuji di lapangan, jika lolos langsung bernyanyi di hadapan banyak penonton dalam acara bergengsi itu. Banyak ragam peserta, ada pengamen, pelajar, mahasiswa, ibu rumahtangga, sampai pada yang sudah pengalaman manggung. Walau tidak seberapa jumlah hadiahnya, tapi tampil dengan satu lagu lebih berarti dari segalanya buat mereka.

Para juri yang ditampilkan juga bukan sekaliber Ahmad Dani maupun Agnes Monica, tapi para pembawa acara, seperti Narji, Gading Martin, Andhika, Ivan Gunawan, dan Bianca serta para pengisi acara sebagai juri final. Acaranya berlangsung santai, penuh canda, tapi tetap mencuatkan keseriusan dalam menilai melalui angka-angka.

Kejelian dalam menemukan kreativitas bagi SCTV memiliki arti tersendiri. Acara itu tidak sekedar menampilkan interaksi antara pihak televisi dengan pemirsanya, tapi membawa harapan ke depannya bagi peserta.

Kejelian lain diperlihatkan ketika pada hari-hari tertentu menampilkan sesi lain, bukan lomba nyanyi anak muda melainkan lomba menyanyi anak-anak (hari Minggu) dan lomba masak ibu-ibu (hari Sabtu).

Inbox tidak sekedar mendatangkan "alay-alay" penonton yang dibayar ke studio. Inbox seperti khasnya dari dulu selalu tampil di luar studio, tidak seperti umpamanya Dahsyat yang sekarang lebih banyak disajikan di dalam studio.

Satu lagi acara SCTV yang memiliki interaksi aktif yang berbeda, yaitu Eat Bulaga Indonesia (EBI). Walau bukan produk asli Indonesia, tapi EBI merangkum sifat massal sebuah acara. Ada sesi "Jagoan Karaoke" suatu kampung, ada adu pintar siswa sekolah dasar, ekstrim karaoke, dan lomba kreativitas anak-anak.

Live dari sebuah kampung bukan pekerjaan mudah, apalagi mengumpulkan manusia seisi kampung tersebut, SCTV melakukannya dengan baik. Interaksi aktif yang dilakukannya menusuk sampai ke dalam rumah pemirsa yang tentunya mayoritas di Tanair Air adalah masyarakat berekonomi menengah ke bawah.

Dua acara SCTV ini memiliki nilai tambah tersendiri dibanding acara-acara interaksi lainnya.




Selasa, 30 April 2013

Sebelum Menabrak Pohon, Uje Sudah Meninggal di Atas Motornya?

Oleh Lilianto Apriadi

Foto: dok. tvone

Sudah banyak dikupas soal seputar meninggalnya ustadz gaul Jeffry Al Buchari atau yang biasa dikenal dengan sebutan Uje, yang berpulang pada Jumat (26/4) dinihari. Dua stasiun televisi berita, Metro TV dan TV One, berlomba menyiarkan secara langsung keberangkatan jenazah Uje dari rumahnya, disembahyangkan di Mesjid Istiqlal, dan hingga dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat. Ribuan pelayat maupun pengantar dapat dilihat dari siaran-siaran itu. Berbagai komentar dan cerita sudah dapat disimak dalam siaran langsung itu.

Tapi, dalam acara Bukan Empat Mata, walau bukan siaran langsung tapi disiarkan empat hari setelah Uje meninggal dunia, Selasa (30/4) malam, ada sesuatu yang baru dan lolos tampaknya dari siaran langsung berjam-jam Metro maupun TV One, yaitu kesaksian Agus Idwar yang sering menjadi host acara Damai Indonesiaku TV One.

Padahal sebenarnya dalam kerja liputan, sumber-sumber jenis ini mudah diperoleh. Tapi, baru empat hari dari meninggalnya Uje ia diutamakan. Dalam kejadian yang menimpa Uje, sebelumnya yang banyak diberitakan sebagai saksi mata adalah penjaga rumah di Pondok Indah yang di depannya ada pohon palem yang ditabrak Uje.

Dalam berbagai liputan kesaksiannya selalu muncul. Ia menunjuk batang bawah pohon palem yang ditabrak Uje, batas trotoar, tempat tubuh Uje tergeletak, lalu ada teman Uje yang kemudian membawa Uje ke rumah sakit dengan taksi.

Ketika Tukul, si host Bukan Emat Mata hendak memperkenalkan saksi meninggalnya Uje, bayangan saya adalah Satpam itu. Walau sebelumnya saya sempat bertanya-tanya, kenapa tidak ada liputan tentang teman-teman Uje yang ikut ngopi di Kemang? Padahal itu mudah dilacak. Yang muncul adalah ustadz Solmed yang meminta kepada asisten Uje, Taufik, agar menghentikan Uje mengendarai motor. Taufik meminta bosnya untuk tidak naik motor hanya lewat telepon. Ketika itu Taufik sedang mengunjungi rumah Solmed.

Saya juga sempat mempertanyakan, kepada karyawan  atau pihak stasiun apa rencana program yang hendak dibuat Uje menyambut bulan Ramadhan mendatang dibicarakan? Sesama stasiun televisi sebenarnya mudah melacaknya. Kemudian saya juga bertanya-tanya, kemana Agus yang sering menjadi host acara Uje di TV One? Wajahnya sesekali terlihat dalam keramaian yang mengantar jenazah Uje.

Kenapa saya pertanyakan Agus? Karena ia bisa dijadikan sumber yang barangkali tahu program yang hendak dibuat Uje?

Pertanyaan-pertanyaan saya terjawab setelah Tukul menyebut nama Agus sebagai saksi kepergian Uje. Ternyata dengan Agus dan beberapa orang lagi Uje pergi ngopi ke Kemang pada malam duka itu untuk  membicarakan program yang hendak dibuat Uje menyambut bulan Puasa mendatang.

Dan benar Agus menjadi saksi utama detik-detik kepergian Uje. Agus berada seratus meter di belakang motor Uje. "Saya dibonceng motor yang dikendarai orang rumah Uje. Saya memang sengaja mengawal Uje dari belakang," cerita Agus.

Sebelum sampai Kemang, Agus pun menceritakan kalau sebenarnya Uje sempat terjatuh dari motornya di Radio Dalam. Cerita Agus, Uje jatuh pas di depannya truk, orang-orang pun berteriak berhenti berhenti, truk itu pun berhenti persis di belakang Uje dengan tangan Uje di dekat roda."

Yang menarik adalah cerita Agus dengan terisak terharu. Walau dengan ragu tapi ia mengambil kesimpulan kalau Uje sebenarnya telah meninggal dunia ketika ia berada di atas motornya. "Jadi ia meninggal bukan karena menabrak pohon. Tapi arwahnya telah dijemput ketika ia berada di atas sepeda motornya. Jadi ia telah meninggal sebelum menabrak pohon."

Agus beralasan, ketika Uje tergeletak di jalan dan ia membawanya ke rumah sakit dengan taksi, di pangkuannya di dalam taksi ia lihat wajah Uje tidak penuh darah. Almarhum hanya terlihat pingsan. Ia baru sadar Uje telah meninggal ketika dokter menyatakan kepadanya bahwa pasien yang dibawanya telah meninggal dunia.

Benarkah cerita Agus? Hanya Allah yang tahu. Tapi, Agus bercerita seperti itu sah-sah saja. Itu adalah kesimpulannya sendiri. Atas dasar melihat kejadian yang dilihatnya dan watak Uje, menurutnya, Uje telah menjemput mautnya sendiri di atas motornya.

Yang menarik dari sosok Agus dalam sudut nara sumber liputan, kenapa TV One tidak mengambil Agus sebagai nara sumber utama padahal Agus sering hadir sebagai host acara Uje di Damai Indonesiaku TV One? TV One boleh jadi kecolongan oleh sikap jeli tim Bukan Empat Mata. Apalagi kesaksian Agus memunculkan nilai lain, salah satunya adalah soal saat-saat meninggalnya Uje itu.

Kemenangan Bukan Empat Mata juga dibisa dilihat di berita Kompas.com yang menceritakan kesedihan dua SPG rokok yang datang ke makam almarhum Uje. Banyak komentar yang menyebutkan bahwa berita itu hanya bualan si perempuan cantik itu untuk numpang tenar di makam Uje.

Dari kesaksian Agus diperoleh bahwa sewaktu  ngopi di Kemang, memang Uje didatangi dua SPG rokok dan meminta sekuriti kafe tidak usah melarang SPG rokok itu menjajakan dagangannya. Uje membeli rokok dengan jumlah uang melebihi harga rokok itu dan meminta kepada dua wanita itu untuk mendoakannya dunia dan akhirat. Cerita Agus cocok dengan berita Kompas.com.

Kejelian dan kecermatan menampilkan saksi nara sumber begitu penting, apalagi si saksi membawa nilai lebih yang tidak dimiliki media lain. Masih banyak memang cerita-cerita di balik meninggalnya ustadz muda itu. Masih banyak juga saksi lain yang bisa ditampilkan. Masih bisa juga cerita lain digali dari saksi-saksi yang sudah ditampilkan. Misalnya untuk Agus, mungkin bisa ditanyakan program TV apa yang hendak ditampilkan almarhum di bulan Ramadhan nanti? Banyak lagi, dan banyak lagi.

Kemenangan liputan jika kita bisa menampilkan hasil yang lain dari yang lain. Ia menjadi eksklusif,  tidak dimiliki media lain. Sekarang ini sudah sangat langka liputan jenis itu di negeri ini. Untunglah Bukan Empat Mata masih jeli. Padahal tadinya saya sudah mulai bosan dengan narasumber yang ditampilkan oleh produk Trans 7 ini. Untuk episode mengenang almarhum Uje itu bolehlah diberikan jempol sambil menunggu kejutan lain tentunya.



Minggu, 29 Juli 2012

Nonton Olimpiade, Lebih Enak dari TV Luar

Oleh: Lilianto Apriadi
Foto: london 2012

Pesta olahraga se dunia, Olimpiade 2012 yang berlangsung di ibukota Inggris, London, sudah dimulai sejak Jumat (27/12) lalu. Upacara pembukaan disiarkan langsung oleh dua televisi lokal dan dua juga televisi luar. TVRI yang mengklaim sebagai televisi resmi penyiar Olimpiade London ini, menyiarkan langsung bersama RCTI. Sedangkan dari luar tercatat ESPN dan Star Sports yang juga merupakan serumpunnya. Selanjutnya mereka inilah silih berganti menyiarkan secara langsung berbagai pertandingan di Olimpiade, dari arena ke arena.

Bagaimana kualitasnya yang dipandang dari sudut kenikmatan menyaksikannya?

Mungkin karena bertepatan dengan bulan Ramadhan, sehingga banyak pertandingan yang dilewati oleh dua televisi lokal. Sebaliknya televisi luar tidak diganggu oleh acara-acara nonsport, sehingga lebih leluasa menyajikannya.

Namun, alasan itu tidak selalu benar. Ketika televisi nasional dan luar sedang menyiarkan satu cabang bersamaan, kenikmatan justru dirasakan kalau memanteng channel ESPN atau Star Sports. Terutama tentu soal komentar-komentarnya. Terkadang pemakaian komentator lokal buat siaran langsung, sekalipun cabang bulutangkis yang seharusnya sudah dikuasai oleh para pengamat atau wartawan yang menjadi komentator, agak mengganggu.

Komentator luar, meski miskin pengetahuan umpamanya soal bulutangkis, tapi terdengar mengasyikkan. Intonasi suara yang diatur lewat penekanan pada momen-momen tertentu, menjadikan pemisra seolah berada di dalam arena pertandingan. Berbeda dengan komentator lokal, walau sebenarnya mengusai hal ihwal cabang yang dipertandingkan, dengan tampilan yang kurang meyakinkan lalu dengan bawaan bicara yang kurang semangat membuat pemirsa dengan mudah memencet tombol remot mengganti saluran siaran.

Olimpiade maupun olahraga pada umumnya, diperlukan ritme pandangan mata seseorang dalam melihatnya, termasuk ketika mengomentarinya. Karena di dalam olahraga ada duka, suka, kalah, menang, menangis, tertawa, gembira, terharu, dan banyak ritme kejadian di dalam arena.

Hal-hal inilah yang perlu diperhatikan dalam menyiarkan pertandingan olahraga. Orang-orang di dalamnya harus pula terbawa ke dalam suasana tersebut, meski dalam analisisnya melihat ke semua arah, berdiri di tengah alias obyektif.

Awal-awal pelaksanaan Olimpiade sudah banyak terjadi hal seperti itu. Medali emas juga sudah banyak yang ke luar. Momen perjalanan emas itulah yang bisa digambarkan oleh si presenter maupun komentator, dengan tentu sebelumnya dibarengi oleh penampilan yang ciamik.

Hari-hari ke depan, masih banyak sejarah akan tercipta. Tantangan bagi TVRI dan RCTI untuk menjadikan siaran Olimpiade lebih baik lagi.

Rabu, 25 Juli 2012

50 Tahun, TVRI Mencoba Kembali Ditonton

Oleh: Lilianto Apriadi

Tahun 2012, genap sudah TVRI berusia 50 tahun. Berdiri pada 24 Agustus 1962, TVRI mengudara dengan sajian peristiwa monumental, pesta olahraga Asia, Asian Games. Ambisi Presiden Soekarno untuk berpromo ke Asia bahkan dunia dibuktikan oleh TVRI. Asian Games bergema, Indonesia pun berhasil mencapai prestasi di tempat kedua klasemen keseluruhan di bawah Jepang. Rekor Asia diciptakan oleh pelari cepat kita, Mohamad Sarengat.

Peringatan tahun emas TVRI kini, pemirsa dicoba untuk diingatkan bahwa peran olahraga begitu besar mempengaruhi perjalanan televisi milik negara itu. Berbagai persitiwa tersaji dalam layar kaca yang sebelum era 1980-an menjadi satu-satunya tontonan masyarakat Indonesia. Persitiwa olahraga nasional yang paling mudah diingat adalah setiap kejuaraan dunia bulutangkis beregu Piala Thomas. Kita juga masih ingat ciri khas dari reporter-reporter andal, seperti Sambas, Azwar Hamid, Sazli Rais, sampai Max Sopacua.

Tapi, seiring dengan reformasi di negeri ini, TVRI tenggelam oleh ketatnya persaingan kreativitas dari televisi swasta. Bahkan sebelum dipecut oleh DPR RI, yang akhirnya kini TVRI menjadi perusahan publik bersama RRI, TVRI seakan dalam kondisi hidup segan mati tak mau.

Promo cukup besar pada peringatan 50 tahun, membuat pemirsa seolah digiring ke era kejayaan TVRI. Promo ini dibarengi oleh perbaikan program dan tampilan dekor maupun konten yang lebih gaul, serta rencana pergantian logo. Pengambilan posisi sebagai televisi penayang Olimpiade 2012 di London, memunculkan kegairahan buat para pemirsa memanteng channel TVRI.

Kegairahan pemirsa sebelumnya juga dipicu oleh semangat para direksi di bawah Direktur Utama Farhat Sukri. Tangan direktur program Irwan Hendarmin terlihat sekali dengan perubahan tampilan dan konten. Pengalamannya berada di televisi swasta membuat Irwan begitu cepat melakukan perubahan.

Persoalannya ke depan adalah pertaruhan obyektivitas TVRI sebagai televisi publik. Pergeseran nilai menjadi subyektivitas pemilik sudah banyak terjadi pada acara-acara televisi swasta. RCTI dan Metro dengan Partai Nasdemnya, kemudian Anteve dan TVOne dengan Partai Golkarnya. Apalagi posisi petinggi (khususnya Dewan Pengawas) TVRI dipilih oleh DPR yang notabene adalah keputusan politis.

Kehadirannya sebagai yang pertama membuat predikat "guru" bagi sumber daya manusia televisi di Indonesia menjadi beban bahwa TVRI ini adalah televisi jadul. Apalagi pameo bahwa guru hanya bisa memberikan pelajaran kepada muridnya, tapi belum tentu bisa menandingi kepintaran muridnya di kemudian hari. Kata lain, si murid karena perkembangan zaman bakal lebih pintar dibanding si guru. Itu sudah lazim, tapi si guru tetap dihormati sepanjang hayat sang murid.

Itulah yang dilihat oleh televisi swasta pada TVRI. Apalagi sumber dana yang mengelola perut TVRI tidak sebesar televisi swasta. TVRI semakin menjadi "Umar Bakri" guru yang terus bersepeda tidak parlente penampilannya seperti digambarkan oleh Iwan Fals.

Di sinilah peran negara menjadi penting. Dukungan dana besar dari pemerintah sangat diperlukan, dan itu banyak dilakukan oleh negara-negara lain. Jepang dengan NHK-nya, Amerika Serikan dengan ABC-nya, Inggris dengan BBC-nya, dan banyak lagi.

Tapi, reformasi tetap juga harus terjadi di sumber daya manusianya. Kalau direksi sudah mulai terlihat "swastanisasinya", tinggal kini adalah para karyawannya yang perlu revitalisasi juga. Turbulen gerak dari segala sektor jangan sampai pincang. Begitulah persaingan, bukan hanya dalam bisnis, tapi juga pada kreativitas pengelola televisi, di mana pun stasiun itu berada.

Kata orang bijak: hidup dimulai pada usia 40 tahun, tapi ketika usia 50 tahun, itu adalah saat dimulainya hidup yang kedua.