Minggu, 29 Juli 2012

Nonton Olimpiade, Lebih Enak dari TV Luar

Oleh: Lilianto Apriadi
Foto: london 2012

Pesta olahraga se dunia, Olimpiade 2012 yang berlangsung di ibukota Inggris, London, sudah dimulai sejak Jumat (27/12) lalu. Upacara pembukaan disiarkan langsung oleh dua televisi lokal dan dua juga televisi luar. TVRI yang mengklaim sebagai televisi resmi penyiar Olimpiade London ini, menyiarkan langsung bersama RCTI. Sedangkan dari luar tercatat ESPN dan Star Sports yang juga merupakan serumpunnya. Selanjutnya mereka inilah silih berganti menyiarkan secara langsung berbagai pertandingan di Olimpiade, dari arena ke arena.

Bagaimana kualitasnya yang dipandang dari sudut kenikmatan menyaksikannya?

Mungkin karena bertepatan dengan bulan Ramadhan, sehingga banyak pertandingan yang dilewati oleh dua televisi lokal. Sebaliknya televisi luar tidak diganggu oleh acara-acara nonsport, sehingga lebih leluasa menyajikannya.

Namun, alasan itu tidak selalu benar. Ketika televisi nasional dan luar sedang menyiarkan satu cabang bersamaan, kenikmatan justru dirasakan kalau memanteng channel ESPN atau Star Sports. Terutama tentu soal komentar-komentarnya. Terkadang pemakaian komentator lokal buat siaran langsung, sekalipun cabang bulutangkis yang seharusnya sudah dikuasai oleh para pengamat atau wartawan yang menjadi komentator, agak mengganggu.

Komentator luar, meski miskin pengetahuan umpamanya soal bulutangkis, tapi terdengar mengasyikkan. Intonasi suara yang diatur lewat penekanan pada momen-momen tertentu, menjadikan pemisra seolah berada di dalam arena pertandingan. Berbeda dengan komentator lokal, walau sebenarnya mengusai hal ihwal cabang yang dipertandingkan, dengan tampilan yang kurang meyakinkan lalu dengan bawaan bicara yang kurang semangat membuat pemirsa dengan mudah memencet tombol remot mengganti saluran siaran.

Olimpiade maupun olahraga pada umumnya, diperlukan ritme pandangan mata seseorang dalam melihatnya, termasuk ketika mengomentarinya. Karena di dalam olahraga ada duka, suka, kalah, menang, menangis, tertawa, gembira, terharu, dan banyak ritme kejadian di dalam arena.

Hal-hal inilah yang perlu diperhatikan dalam menyiarkan pertandingan olahraga. Orang-orang di dalamnya harus pula terbawa ke dalam suasana tersebut, meski dalam analisisnya melihat ke semua arah, berdiri di tengah alias obyektif.

Awal-awal pelaksanaan Olimpiade sudah banyak terjadi hal seperti itu. Medali emas juga sudah banyak yang ke luar. Momen perjalanan emas itulah yang bisa digambarkan oleh si presenter maupun komentator, dengan tentu sebelumnya dibarengi oleh penampilan yang ciamik.

Hari-hari ke depan, masih banyak sejarah akan tercipta. Tantangan bagi TVRI dan RCTI untuk menjadikan siaran Olimpiade lebih baik lagi.

Rabu, 25 Juli 2012

50 Tahun, TVRI Mencoba Kembali Ditonton

Oleh: Lilianto Apriadi

Tahun 2012, genap sudah TVRI berusia 50 tahun. Berdiri pada 24 Agustus 1962, TVRI mengudara dengan sajian peristiwa monumental, pesta olahraga Asia, Asian Games. Ambisi Presiden Soekarno untuk berpromo ke Asia bahkan dunia dibuktikan oleh TVRI. Asian Games bergema, Indonesia pun berhasil mencapai prestasi di tempat kedua klasemen keseluruhan di bawah Jepang. Rekor Asia diciptakan oleh pelari cepat kita, Mohamad Sarengat.

Peringatan tahun emas TVRI kini, pemirsa dicoba untuk diingatkan bahwa peran olahraga begitu besar mempengaruhi perjalanan televisi milik negara itu. Berbagai persitiwa tersaji dalam layar kaca yang sebelum era 1980-an menjadi satu-satunya tontonan masyarakat Indonesia. Persitiwa olahraga nasional yang paling mudah diingat adalah setiap kejuaraan dunia bulutangkis beregu Piala Thomas. Kita juga masih ingat ciri khas dari reporter-reporter andal, seperti Sambas, Azwar Hamid, Sazli Rais, sampai Max Sopacua.

Tapi, seiring dengan reformasi di negeri ini, TVRI tenggelam oleh ketatnya persaingan kreativitas dari televisi swasta. Bahkan sebelum dipecut oleh DPR RI, yang akhirnya kini TVRI menjadi perusahan publik bersama RRI, TVRI seakan dalam kondisi hidup segan mati tak mau.

Promo cukup besar pada peringatan 50 tahun, membuat pemirsa seolah digiring ke era kejayaan TVRI. Promo ini dibarengi oleh perbaikan program dan tampilan dekor maupun konten yang lebih gaul, serta rencana pergantian logo. Pengambilan posisi sebagai televisi penayang Olimpiade 2012 di London, memunculkan kegairahan buat para pemirsa memanteng channel TVRI.

Kegairahan pemirsa sebelumnya juga dipicu oleh semangat para direksi di bawah Direktur Utama Farhat Sukri. Tangan direktur program Irwan Hendarmin terlihat sekali dengan perubahan tampilan dan konten. Pengalamannya berada di televisi swasta membuat Irwan begitu cepat melakukan perubahan.

Persoalannya ke depan adalah pertaruhan obyektivitas TVRI sebagai televisi publik. Pergeseran nilai menjadi subyektivitas pemilik sudah banyak terjadi pada acara-acara televisi swasta. RCTI dan Metro dengan Partai Nasdemnya, kemudian Anteve dan TVOne dengan Partai Golkarnya. Apalagi posisi petinggi (khususnya Dewan Pengawas) TVRI dipilih oleh DPR yang notabene adalah keputusan politis.

Kehadirannya sebagai yang pertama membuat predikat "guru" bagi sumber daya manusia televisi di Indonesia menjadi beban bahwa TVRI ini adalah televisi jadul. Apalagi pameo bahwa guru hanya bisa memberikan pelajaran kepada muridnya, tapi belum tentu bisa menandingi kepintaran muridnya di kemudian hari. Kata lain, si murid karena perkembangan zaman bakal lebih pintar dibanding si guru. Itu sudah lazim, tapi si guru tetap dihormati sepanjang hayat sang murid.

Itulah yang dilihat oleh televisi swasta pada TVRI. Apalagi sumber dana yang mengelola perut TVRI tidak sebesar televisi swasta. TVRI semakin menjadi "Umar Bakri" guru yang terus bersepeda tidak parlente penampilannya seperti digambarkan oleh Iwan Fals.

Di sinilah peran negara menjadi penting. Dukungan dana besar dari pemerintah sangat diperlukan, dan itu banyak dilakukan oleh negara-negara lain. Jepang dengan NHK-nya, Amerika Serikan dengan ABC-nya, Inggris dengan BBC-nya, dan banyak lagi.

Tapi, reformasi tetap juga harus terjadi di sumber daya manusianya. Kalau direksi sudah mulai terlihat "swastanisasinya", tinggal kini adalah para karyawannya yang perlu revitalisasi juga. Turbulen gerak dari segala sektor jangan sampai pincang. Begitulah persaingan, bukan hanya dalam bisnis, tapi juga pada kreativitas pengelola televisi, di mana pun stasiun itu berada.

Kata orang bijak: hidup dimulai pada usia 40 tahun, tapi ketika usia 50 tahun, itu adalah saat dimulainya hidup yang kedua.